Selasa, 27 Oktober 2009

Mahasiswa = Kaum Intelek?


Pastinya sering denger pernyataan di atas, bahwa mahasiswa adalah kaum intelek. Dan biasanya, pernyataan ini diikuti oleh beberapa macam atribut dan karakteristik yang orang harapkan dari seorang anggota "kaum intelek".

Atribut apa sih? Berikut ini, kompilasi atribut dan ciri-ciri mahasiswa yang saya rangkum dari berbagai sumber dan kebanyakan terlalu opinionated. Sumbernya? Tentu saja, rahasia. Yang pasti, kompilasi ini hanya membahas mahasiswa Indonesia. Kenapa demikian? Yah, karena saya mahasiswa Indonesia. Sebelumnya, saya juga ingin sampaikan kalau atribut-atribut berikut ini hampir sebagian besar adalah stereotype, yaitu gak semua kalangan mahasiswa bersikap demikian, namun, karakter dan sikap ini udah melekat sebegitu kuat di demografi mahasiswa.

Ok, kita mulai.


Atribut 1: Mahasiswa adalah kaum intelek.

Atribut pertama ini adalah atribut yang paling terkenal. Atribut ini hampir mencakup semua atribut lain yang akan saya bahas. Di sini, mahasiswa digambarkan sebagai kaum intelek yang mana bercirikan "cara pikir dewasa, pergaulan luas, bersikap kritis, dan berwawasan jauh"

Setiap ayam pasti berasal dari telur. Begitu pula dengan "kaum intelek". Kaum ini logikanya dihuni oleh pribadi-pribadi intelek. Namun, siapa sih sebenarnya yang mengesahkan bahwa "Ya, kamu intelek!" ? Jawabannya agak mengejutkan, karena ternyata, yang mengesahkan bahwa mahasiswa itu intelek adalah tidak lain dan tidak bukan: MAHASISWA itu sendiri!!

Aneh? Coba pikir. Mahasiswa itu asalnya dari mana sih? Dari anak SMA/SMK dan setaranya. Tapi kenapa kok jarang sekali ada ungkapan bahwa "Siswa SMA/SMK itu adalah perintis kaum intelek"? Tentunya ini gak terlalu sulit untuk dijawab. Karena ternyata, gak semua siswa SMA/SMK itu intelek (memiliki cara pikir dewasa, pergaulan luas, bersikap kritis, dan berwawasan jauh). Malah, ada pendapat umum bahwa masa-masa SMA itu masa-masa indah, masa untuk main-main, masa untuk mencari identitas (sebuah euphemism untuk bilang klo hidup anak SMA itu penuh trial-and-error). Klo nyatanya demikian, trus darimana asalnya "kaum intelek" tadi?

Jawabannya lebih mengejutkan lagi: dari Jaket Almamater! Lho kok bisa? Apa bukan dari kenyataan bahwa seorang mahasiswa itu menimba ilmu lebih tinggi dari siswa-siswa lainnya, sehingga sebutannya aja ditingkatkan jadi superlatif dengan imbuhan maha- ? Bisa jadi sih, cuma klo dilihat-lihat, golongan mahasiswa yang benar-benar menimba ilmu dengan mengikuti kuliah, mengerjakan tugas, dan tidak mencontek itu jarang banget menyebut diri mereka kaum intelek. Biasanya, sebutan ini malah sering dikumandangkan oleh mereka-mereka yang turun ke jalan, mengadakan aksi-demonstrasi, menuntut pemerintah agar tidak menzhalimi rakyat dll. Mereka yang jarang kelihatan di ruang kuliah inilah yang menyebut diri mereka kaum intelek. Kaum intelek dengan jubah agungnya. Jubah almamater.

Kalau ternyata memang mereka kaum intelek, bukannya mereka harusnya bisa menyadari ada ironi di balik sikap idealis mereka? Mereka menuntut pemerintah untuk tidak bersikap zhalim, sementara mereka sendiri asyik menzhalimi uang orangtua dan teman-teman mereka yang kurang beruntung untuk dapet kursi universitas mereka. Aneh? Yah, begitulah.

Atribut 2: Mahasiswa adalah kaum yang bisa membawa perubahan.

Adalah impian banyak mahasiswa untuk namanya bisa ditulis sejajar dengan Soe Hok Gie dan Arif Rahman Hakim. Dan tanpa disadari, ternyata motivasi demi publisitas ini yang melandasi banyak aksi dan demonstrasi.

Wah, kok bisa? Lho, kalo memang aksi dan demonstrasi itu diadakan sepenuhnya demi "perubahan yang berguna", harusnya sejak awal aksi dan demonstrasi itu gak diadain. Coba mikir, berapa besar rasio jumlah demonstrasi yang berhasil mencapai tujuannya dengan jumlah demonstrasi yang diadakan? Hampir bisa disamakan dengan rasio jumlah planet yang memiliki kehidupan dengan jumlah planet yang ada. Oke, kayanya terlalu berlebihan. Tapi, ngerti kan maksudnya?

Ada yang bilang, walaupun dengan rasio yang hampir terlalu astronomikal itu, mukjizat bisa terjadi, dan perubahan yang diimpikan tercapai. Yah, mungkin aja. Cuma, kalau dengan asumsi atribut pertama itu benar, harusnya mereka bisa cari solusi lain. Solusi yang tidak melibatkan kemacetan, teriak-teriak di jalan, dan digiring ke kantor polisi.



Atribut 3: Mahasiswa yang gak ikut organisasi/LSM/BEM/Senat itu mahasiswa yang acuh dan tidak peduli terhadap masyarakat.

Sejarah itu selalu berulang. Kalau setuju dengan pernyataan ini, coba kita lihat empat puluh tahun yang lalu. Pernah dengar cerita masa muda Akbar Tandjung? Tanpa memberi perspektif pribadi tentang beliau, saya cuma ingin membandingkan posisi beliau. Empat puluh tahun yang lalu, beliau itu termasuk mahasiswa yang aktif memperjuangkan perubahan, tentunya dengan cara klasik: berdemonstrasi dan sebagainya. Coba lihat posisinya sekarang: dari subjek menjadi objek. Dari pendemo menjadi yang didemo. Dari yang menuntut jadi yang dituntut.

Apa yang membuat mahasiswa yang saat ini lebih banyak di jalan "memperjuangkan aspirasi rakyat" yakin bahwa mereka tidak akan bernasib seperti beliau?

Apa yang membuat mereka yakin bahwa teman-temannya yang lebih serius dengan kuliahnya tidak akan berakhir menjadi CEO perusahaan multinasional, yang secara tidak langsung menciptakan banyak lapangan kerja?

Atribut 4: Perbendaharaan kata yang sulit dan rumit adalah bagian dari percakapan sehari-hari mahasiswa.

Coba hitung, seberapa sering kata-kata berikut ini diucapkan dalam pembicaraan normal sehari-hari: sanguinis, melankolis, hedonis, kapitalis, observasi, kutub empiris, kutub historis, terminologi ilmiah, disikapi, ditengarai, sikap bipolar, utopia.

Mungkin jarang, tapi tidak demikian jika teman-teman sempat menghabiskan cukup waktu bersama kaum intelek tadi. Karena apa? Yup, tepat. Karena untuk menjadi anggota kaum intelek, seseorang harus terdengar intelek dulu sebelumnya. Tapi untungnya, tidak harus terdengar masuk akal. Jadi, tenang saja, selama bisa mengingat satu dua kata intelek tadi, kita bebas kok memakainya, walaupun gak sepenuhnya tepat.

Atribut 5: Sebuah ramalan bahwa mahasiswa itu bisa membawa kesejahteraan bagi negara.

Dan sayangnya ramalan itu adalah sebuah ramalan belaka. Quick quiz: apakah Bill Gates lulus kuliah? Agak ekstrem sih kalo mengambil Bill Gates sebagai perumpamaan. Cuma, kira-kira begitu gambarannya. Menjadi sukses, terkenal, berjasa dan bermanfaat bagi banyak orang bukanlah sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh mahasiswa saja. Semua orang punya peluang.

Saya jadi tambah sinis dan curiga, jangan-jangan ramalan tersebut diciptakan oleh mahasiswa sendiri untuk menenangkan diri mereka bahwa apapun yang mereka kerjakan dan peroleh selama kuliah sudah pasti akan membawa mereka ke jalan kesuksesan dan perubahan revolusioner yang mereka dambakan.

—-

Yah, begitu kira-kira laporan pengamatan dan opini saya mengenai mahasiswa. Kenapa tulisan ini saya buat? Karena saya sudah cukup alergi dengan stereotype mahasiswa Indonesia yang penuh dengan karakteristik superfisial (dan dengan penggunaan frase karakteristik superfisial ini, saya secara resmi memiliki Atribut No. 4) yang begitu tinggi dan penuh *maaf* kemunafikan.

Jadi, masih berani bilang mahasiswa itu kaum intelek?

0 komentar:

Posting Komentar